
KUASA hukum dua terdakwa perkara dugaan tindak pidana pemasangan patok di wilayah tambang nikel Halmahera Timur, Maluku Utara, Otto Cornelis Kaligis, meminta majelis hakim untuk bersikap jujur. Ia meminta hakim melihat ada unsur kriminalisasi terhadap dua kliennya.
Indikasi kriminalisasi sudah muncul sejak proses penyelidikan. Penyidik, kata dia, menggunakan pasal berbeda dalam penyelidikan dan penyidikan. Pada awalnya, kedua terdakwa dituduh melanggar Pasal 162 UU Minerba jo Pasal 50 ayat 3 huruf a dan k UU Kehutanan. Namun, dalam penyidikan, pasalnya berubah menjadi Pasal 162 UU Minerba jo Pasal 50 ayat 2 huruf a UU Kehutanan.
“Yang ditanyakan kepada saksi dan tersangka juga tidak terkait pasal itu. Pertanyaan justru seputar pemasangan patok yang hanya dilakukan sekali dalam 1x24 jam. Anehnya, itu bisa dijadikan pidana. Kalau hakim jujur, harusnya klien saya bebas,” ujarnya.
Ia juga menyoroti keterangan saksi yang dinilai tidak relevan. Dari 11 saksi yang dihadirkan, sembilan hanya melihat pemasangan patok, dan tidak ada yang mengenal kedua terdakwa. Bahkan, saksi utama berasal dari pihak PT P dan polisi.
Saksi Ahli?
Ditambah, saksi dan ahli dari PT WKM tidak diperiksa di penyidikan. Sehingga penyidikan terkesan berat sebelah atas kasus yang menjadikan Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang, dua karyawan PT WKM sebagai terdakwa.
Selain meminta hakim obyektif, Otto juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi kasus kriminalisasi tersebut. “Saya maunya ini supaya masuk kepada KPK, supaya ada objektifitasnya. Kalau tidak, khawatir ada permainan sih,” kata Kaligis usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusa, Rabu (20/8).
Kaligis mengatakan hadirnya KPK dalam perkara ini penting karena ada indikasi dugaan terjadinya kerugian negara yang telah dilakukan oleh pihak PT P. Kerugian negara itu, kata dia, dilakukan oleh pihak yang telah menambang nikel.
“PT P yang ambil untuk kepentingan sendiri. Negara pasti dirugikan kalau begitu. Itu baru objektif. Saya sudah minta gelar perkara tapi tidak dizinkan loh gelar perkaranya,” kata pengacara yang sudah berpengalaman lebih dari 50 tahun ini.
Sidang Lanjutan?
Sementara itu pada sidang lanjutan kali ini, majelis hakim memberikan kesempatan kepada pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menjawab eksepsi yang telah disampaikan pihak kuasa hukum dua terdakwa pada pekan lalu.
Pihak jaksa dalam sidang tersebut menyampaikan penolakan semua eksepsi yang diajukan tim kuasa hukum. Majelis hakim juga belum mengabulkan permohonan tim kuasa hukum yang meminta agar dilakukan penundaan penahanan terhadap Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang.
Kaligis lebih jauh menilai dalam perkara ini sarat dengan banyaknya kejanggalan. Ia merasa aneh karena dua kliennya, Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang, didakwa karena memasang patok di wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) milik perusahaannya sendiri. “Ini kasus tambang yang dipelintir menjadi pidana kehutanan. Ada orang kuat yang bermain di kasus ini. Intinya, yang salah dibiarkan lolos, sementara yang benar dikriminalisasi,” ujarnya.
Wilayah Konsesi?
Patok itu justru dipasang untuk melindungi wilayah konsesi dari dugaan penyerobotan oleh PT P, yang dituding melakukan penambangan nikel ilegal. “Yang melakukan kejahatan kehutanan seharusnya PT P. Tapi yang dijadikan tersangka malah karyawan PT WKM. Ini jelas kriminalisasi hukum,” ujarnya.
Kasus ini berawal dari laporan Direktur PT P, Hari Aryanto Dharma Putra, ke Bareskrim Mabes Polri. Ia menuding patok milik PT WKM menghalangi pekerjaan pertambangan PT P. Namun, Kaligis balik menegaskan, fakta di lapangan menunjukkan justru PT P yang melakukan penambangan ilegal di wilayah konsesi PT WKM di Desa Ekor dan Sagea, Kecamatan Wasile Selatan dan Weda Utara, Halmahera Timur. (Cah/P-3)