Liputan6.com, Jakarta Menyambut peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-80, peneliti mengingatkan bahwa negara ini sejak awal sudah merayakan kesehatan.
“Tadi kita baru saja menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, Indonesia mengawali kemerdekaannya justru dengan merayakan kesehatan. Perayaan pertama Indonesia merdeka justru adalah perayaan kesehatan jiwa dan fisik,” kata ketua tim peneliti ideologi kesehatan Indonesia Health Development Center (IHDC), Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, di Jakarta, Rabu (20/8/2025).
Narasi ini ia dapatkan dari salah satu kontributor studi yakni Karlina Leksono. Hal ini dapat dilihat pula dari bait lagu kebangsaan Indonesia Raya yakni “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.”
“Ini adalah narasi perayaan kesehatan untuk setiap rakyat Indonesia. Namun, terlepas dari begitu banyaknya kemajuan yang sudah dicapai bangs aini, harus diakui masih ada ketimpangan di layanan kesehatan. Dan disayangkan, ketimpangan ini justru terjadi pada kelompok marginal,” jelas Ray.
Kelompok marginal atau terpinggirkan ini termasuk orang miskin dan orang yang berada di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terpencil).
Hal ini dibuktikan dengan tingginya kasus stunting, di mana kontribusi besar berasal dari daerah 3T. Termasuk yang miskin dan jauh dari fasilitas kesehatan.
“Ada pula aspek yang cenderung diabaikan, yaitu aspek keterlibatan. Setiap jiwa rakyat Indonesia harus terlibat langsung dalam sistem kesehatan. Bukan hanya sebagai penerima layanan kesehatan tapi juga pemain utama dalam kebijakan kesehatan di Indonesia,” ucap Ray.
Sungguh ironi, seorang bocah berusia 3 tahun di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, meninggal dunia dengan kondisi tubuh yang dipenuhi cacing. Penanganan kesehatan bocah yang terkendala birokrasi membuat Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi buka suara.
4 Celah Ketimpangan Kesehatan Indonesia
Hal ini melandasi IHDC dalam melakukan kajian yang disebut kajian metode reinterpretasi nilai-nilai Pancasila.
“Dasar kerangka konsep kajian IHDC ini adalah kami ingin mencoba membawa bagaimana realita itu bertemu dengan idealisme kesehatan Indonesia. Untuk sampai ke sana, kami melihat ada empat celah ketimpangan yang kami review.”
Keempat celah ketimpangan itu adalah:
- Ketimpangan pada akses dan ketersediaan tenaga serta layanan kesehatan.
- Ketimpangan dalam pembiayaan kesehatan.
- Ketimpangan informasi dan literasi kesehatan.
- Ketimpangan keterlibatan masyarakat dalam ekosistem kesehatan.
“Itu sebabnya, kami ingin melakukan kajian ideologi kesehatan yang bertujuan untuk menjembatani idealisme dan realita di lapangan serta memastikan sistem kesehatan kita dapat dipertajam,” kata Ray.
6 Dimensi Inti Ideologi Kesehatan Indonesia
Ray memaparkan, kajian mendalam dan panjang dari tim IHDC dengan keterlibatan berbagai pakar di bidangnya telah melahirkan enam dimensi utama ideologi kesehatan Indonesia. Ini merupakan hasil sintesis dari brainstorming pakar, studi literatur, dan diskusi lintas sektor.
Keenam dimensi inti ideologi kesehatan itu adalah:
- Kedaulatan – mengutamakan kendali nasional atas sumber daya kesehatan.
- Komunitas dan Solidaritas – memperkuat gotong royong kesehatan berbasis komunitas.
- Kesetaraan – menjawab ketimpangan layanan dan perlakuan terhadap kelompok rentan, perempuan, disabilitas, dan masyarakat adat.
- Ekonomi dan Jaminan Pembiayaan – memperjuangkan sistem pembiayaan yang adil dan tidak diskriminatif terhadap kelompok tidak mampu.
- Pendidikan dan Promosi Kesehatan – membangun gerakan literasi kesehatan sejak pendidikan dasar hingga komunitas.
- Tata Kelola – mendorong birokrasi kesehatan yang transparan, partisipatif, dan responsif berbasis teknologi dan kepercayaan publik.
“Setiap dimensi disertai dengan indikator keberhasilan yang terukur, seperti roadmap kemandirian, rasio tenaga kesehatan di wilayah tertinggal, tingkat kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), indeks literasi kesehatan, dan sistem audit sosial digital layanan publik, dilengkapi dengan model pengukuran berbasis komunitas,” ujar Ray.
Partisipasi Rakyat Jadi Roh Utama Ideologi Kesehatan Indonesia
Seluruh dimensi ini tidak berdiri sendiri, melainkan diikat oleh roh utama yakni partisipasi rakyat.
IHDC menyebut partisipasi bukan sekadar pelibatan formal dalam musrenbang, tetapi keterlibatan bermakna rakyat dalam merumuskan, melaksanakan, dan mengevaluasi sistem kesehatan mereka sendiri.
“Tanpa partisipasi yang nyata dan kolektif, ideologi hanyalah slogan. Kita ingin rakyat merasa menjadi pemilik sistem kesehatan, bukan hanya pengguna yang pasrah,” ujar Inisiator dan Ketua Dewan Pembina IHDC, Prof. Nila F. Moeloek, dalam kesempatan yang sama.
Laporan ini juga memperkuat argumen ilmiah dengan merujuk pada kajian filsafat sosial dan politik. Itu sebabnya, empat pakar kunci yang mewakili puluhan kontributor ahli dalam kajian Ideologi Kesehatan ini menegaskan bahwa nilai-nilai Pancasila disebut sebagai fondasi paling cocok bagi bangsa Indonesia dalam membangun sistem kesehatan berbasis keadilan substantif.