Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Prabowo Subianto menargetkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berbalik dari defisit menuju surplus pada 2027-2028 mendatang. Adapun salah satu instrumen yang disoroti untuk mencapai target tersebut adalah lembaga pengelola aset BUMN yang baru dibentuk, Danantara.
Menurut Presiden Prabowo, jika berkaca pada aset-aset yang dimiliki bangsa Indonesia melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bernilai lebih dari US$1.000 triliun, seharusnya BUMN mampu memberikan minimal US$50 miliar atau setara dengan Rp807,75 triliun kepada negara.
Namun, para ekonom menilai ekspektasi terhadap Danantara masih terlalu tinggi.
Pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution (ISEAI), Ronny Sasmita menilai asumsi bahwa BUMN mampu memberikan return on equity (ROE) 5% dari aset sekitar US$ 1.000 miliar sehingga bisa menghasilkan Rp700-Rp800 triliun per tahun jauh dari realitas.
"Bertahun-tahun saya melihat dividen BUMN itu dalam 10 tahun terakhir itu kecil banget di bawah Rp 100 triliun. Jadi untuk membuat meningkat menjadi Rp 800 triliun rupiah itu rasanya gimana gitu ya, 800% atau 8 kali lipat itu rasanya gak mungkin," ujar Ronny kepada CNBC Indonesia, Kamis (21/8/2025).
Menurutnya, hanya sebatas menertibkan dan merampingkan BUMN belum cukup untuk menghasilkan dividen signifikan dalam jangka pendek. Maka dari itu, mengandalkan Danantara untuk mencatatkan surplus dalam APBN beberapa tahun kedepan dinilai tidak realistis.
"Rasanya kayak dongeng aja, kayak love story lah ceritanya. Jadi mungkin-mungkin saja tapi ya kemungkinannya sangat kecil. Sehingga balance budget itu bisa dicapai tetap tanpa mungkin Danantara bisa cuma bisa memberikan Rp200 atau Rp300 triliun tapi itu masih bisa dicapai dengan cara menurunkan belanja," ujarnya.
Tak hanya itu, menurut Ronny tata kelola Danantara belum lepas dari politik. Masih banyak pejabat pemerintah yang mengisi berbagai jabatan di perusahaan-perusahaan BUMN.
"Depolitisasi BUMN itu belum terjadi karena ternyata masih banyak wamen yang jadi komisaris, masih banyak relawan yang jadi komisaris. Jadi sama aja kayak sebelumnya," ujarnya.
Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin pun menilai peran Danantara masih terbatas. Kendati aset Danantara mencapai sekitar Rp 1.600 triliun, mayoritas aset tersebut tidak produktif.
"Kondisi BUMN pun saat ini juga jauh dari ideal, banyak BUMN yang mengalami risiko bangkrut akibat utang berlebih, misalnya farmasi, karya dan Garuda. Dalam konteks ini, Danantara harus membantu mereka, apakah melalui setoran modal atau pinjaman dari pemegang saham; tentunya hal ini memerlukan resources yang tidak sedikit," ujar Wijayanto kepada CNBC Indonesia, Kamis (21/8/2025).
Menurutnya, target return on asset (ROA) 5% tidak realistis dengan kualitas aset yang ada. Sebagai gambaran, selama 5 tahun terakhir, Wijayanto menjelaskan rata-rata dividen BUMN hanya Rp 60 triliun per-tahun.
Sementara dalam 20 tahun terakhir hanya Rp 34 triliun per-tahun. Jika dikurangi dengan PNM kedepan harus ditanggung oleh Danantara, maka nilai net dividen nya hanya Rp 5,3T per-tahun dan Rp 8,5 T per-tahun.
"Angka net dividen ini tentunya jauh dari Rp 500 T per-tahun seperti yang disampaikan oleh DPR. Target ROA 5% tidaklah mungkin, mengingat kualitas dan jenis aset yang dimiliki, ROA 1% saja sudah patut kita acungi jempol," ujarnya.
Kendati demikian, Wijayanto menilai Danantara tetap berpotensi dalam jangka panjang. Menurutnya, target ROA 5% dapat tercapai dalam 5 hingga 10 tahun kedepan.
"Dengan penghitungan aset yang lebih akurat perkiraan saya, aset Danantara saat ini sekitar Rp 3.000-4.000 T saja, ROA sebesar 5% 5-10 tahun dari sekarang sangat mungkin. Apalagi rata-rata return Temasek dan Khazanah mencapai 7% dan 5,9%," ujarnya.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Sri Mulyani Bawa Kabar Baik, Setoran Pajak Berbalik Positif di Maret