
GURU besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Prof Nurini Aprilianda menyatakan sistem peradilan pidana anak di Indonesia masih menunjukkan ketimpangan. Pasalnya sistem belum memberikan perlindungan yang seimbang antara anak pelaku dan anak korban.
Menurut Prof Nurini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak (UU SPPA) hadir sebagai tonggak penting dalam perlindungan anak berhadapan dengan hukum, khususnya anak sebagai pelaku tindak pidana.
"Namun dalam pelaksanaannya terdapat ketimpangan distribusi perlindungan. Sebab, fokus lebih besar diberikan pada anak pelaku dibandingkan dengan perlindungan dan partisipasi anak korban," tegas Prof Nurini Aprilianda, Kamis (21/8).
Kondisi ini menimbulkan ketidakseimbangan struktural dan normatif dalam sistem peradilan pidana anak l. Persoalannya terletak pada belum adanya mekanisme formal seperti victim impact statement (VIS). Mekanisme itu memungkinkan korban menyampaikan suara dan pengalaman psikologis secara sah dalam proses hukum.
"Ketidakhadiran VIS menyebabkan kepentingan anak korban tidak terakomodasi secara adil dalam putusan sehingga pemulihan menjadi tidak optimal," katanya.
Karena itu, Prof Nurini menghadirkan model keseimbangan ganda atau the dual balance model menjadi yang menyatukan perlindungan anak pelaku dan hak korban dalam sistem peradilan pidana anak.
Model ini memiliki pendekatan baru dalam hukum pidana anak yang menyatukan perlindungan pada anak pelaku sekaligus pemulihan hak anak korban. Hal ini berbeda dengan model konvensional yang cenderung terfokus pada pelaku. "Model keseimbangan ganda mengintegrasikan empat pilar, yaitu asesmen multidisipliner, VIS, layanan lintas sektor, dan partisipasi bermakna," ujarnya.
Adapun keunggulannya pada pendekatan berbasis trauma dan relasional yang adaptif terhadap kebutuhan dan risiko anak. Bahkan, model ini lebih inklusif dan responsif terhadap hak korban ketimbang sistem di UU SPPA.
Dengan demikian, Model keseimbangan ganda menawarkan potensi reformasi yudisial dan administratif yang kuat meski masih menghadapi tantangan implementasi lantaran keterbatasan regulasi dan kesiapan kelembagaan.
"Model ini berguna sebagai dasar perancangan kebijakan, inovasi pendidikan hukum, serta pengembangan sistem peradilan anak yang humanis dan berkeadaban," pungkasnya. (H-2)