Liputan6.com, Jakarta - Reza melangkah keluar dari kamar Aurel dan mendapati Sarah duduk di sofa. Ia menghampiri dan berkata pelan, “Maaf, aku harus langsung pulang tadi. Soalnya aku lihat Kenzo udah ketemu sama papanya.”
Sarah mengangguk, lalu bertanya, “Terus... Mirsa gimana?”
Reza menghela napas berat. “Dia udah resign. Katanya mau balik ke Padang.”
Tanpa banyak kata lagi, Reza masuk ke kamarnya. Sementara itu, Sarah tersenyum kecil—ada ketenangan di wajahnya.
Di tempat lain, Radit tampak panik. Ia membuka lemari dan mengobrak-abrik isi laci. “Surat hasil DNA itu... taruh di mana ya semalam? Kenapa aku bisa lupa?” pikirnya panik. Wajahnya tegang. “Kalau Karina sampai nemuin surat itu... habis aku.”
Tiba-tiba Karina masuk ke kamar. “Kamu lagi cari apa?”
Radit buru-buru menutup laci. “Nggak, nggak ada apa-apa.”
Karina menatapnya curiga, tapi memilih tidak memperpanjang. “Aku mau antar Akira sekolah dulu, ya.”
Radit hanya mengangguk pelan, masih diliputi rasa cemas.
Perpisahan yang Menguras Air Mata
Di pemakaman, Desi dan Mirsa berdiri di depan makam sambil menaburkan bunga. Mirsa tak kuasa menahan air mata. Ia menunduk dalam, tubuhnya gemetar. Isak tangisnya pecah saat mengucapkan salam perpisahan.
Tak lama kemudian, Reza dan Aurel datang. Aurel memeluk Desi erat, sementara Mirsa buru-buru mengusap wajahnya yang basah.
Aurel memandang nisan Nisa dengan penuh haru. “Nisa... kamu beruntung banget punya mama seperti Tante Cantik,” bisiknya.
Reza menoleh ke Desi dan Mirsa. “Selamat jalan, ya... Terima kasih, Mirsa. Kamu udah banyak bantu aku selama ini.”
Sebuah Percakapan yang Mengusik
Usai dari pemakaman, Mirsa sedang mencari ibunya. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Desi tengah berbicara serius dengan Pramana di kejauhan. Dari cara mereka bicara, terlihat jelas ada sejarah di antara keduanya.
Desi tampak menahan emosi. “Kesalahan kamu itu gak akan pernah aku maafkan!” suaranya dingin.
Pramana mencoba meredakan, “Kenapa kamu sekeras ini, Desi?”
Tapi Desi menatapnya tajam. “Aku cuma minta kamu... jangan berasa kenal saya. Lupakan yang dulu. Saya udah gak mau ingat lagi!”
Mirsa tertegun mendengar kalimat itu. Lupakan yang dulu? pikirnya dalam hati. Matanya tertuju pada ibunya. Ada sesuatu yang belum pernah diceritakan. Ada masa lalu yang ditutup rapat.